Mengapa Produk Lokal Kita Seringkali ‘Mati Suri’? Sebuah Refleksi dari Anyaman Rote

- Tim

Sabtu, 6 September 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

ILUSTRASI. anyaman bakul Rote | rotendao.com

ILUSTRASI. anyaman bakul Rote | rotendao.com

ROOLNEWS.ID • Indonesia tak pernah kehabisan karya untuk dibanggakan. Dari tenun ikat, kerajinan kayu, hingga kopi, produk kita selalu berhasil memantik decak kagum di panggung dunia, entah itu di Paris, Frankfurt, atau Shanghai. Namun, ada sebuah ironi yang terus berulang: setelah menuai pujian, produk-produk itu perlahan lenyap dari pasar. Gaungnya terdengar sebentar, lalu sunyi.

Kisah anyaman bakul lontar dari tanah kelahiran saya, Rote, adalah cermin dari fenomena “mati suri” ini. Beberapa waktu lalu, dalam forum diskusi kami, Komunitas Kamu Rote Ndao, sebuah unggahan dari Ibu Elsje Mansula (Yayasan Tanitenun) memicu perbincangan mendalam. Beliau membagikan foto bakul-bakul kecil yang sempat sangat diminati di Shanghai sebagai wadah pernak-pernik. “Para pengunjung pameran jatuh hati pada karya sederhana nan indah ini,” tulisnya. Namun, kalimat lanjutannya terasa getir, “Sayangnya, produksi terhenti, terutama sejak pandemi.”

Unggahan itu bukan sekadar nostalgia, melainkan sebuah otopsi atas kegagalan kita bersama. Mengapa sebuah produk yang jelas-jelas punya pasar bisa berhenti di tengah jalan? Diskusi yang berkembang di forum kami mengurai benang kusut ini menjadi beberapa persoalan mendasar yang, saya yakin, juga dialami banyak produk lokal lain di seluruh Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pertama, kita sering gagal dalam ujian konsistensi kualitas. Seorang pengrajin mungkin bisa menghasilkan satu karya masterpiece, tetapi ketika pesanan datang dalam jumlah besar, standar itu goyah. Ibu Elsje menyoroti, “Ternyata hasil anyaman tidak konsisten kualitasnya, sehingga berujung orderan gagal dipenuhi.” Inilah titik awal runtuhnya kepercayaan pasar.

Kedua, kita terperangkap dalam rantai pasok yang rapuh. Di Rote, para mama penganyam masih harus mencari sendiri daun lontar. Seperti yang diungkapkan Ibu Yanti Lengo, seorang pemerhati anyaman, seharusnya ada sistem gotong royong di mana para bapak bisa membantu menyediakan bahan baku saat turun dari menyadap lontar. Tanpa jaminan bahan baku, roda produksi berhenti berputar.

Persoalan ini diperparah oleh minimnya pendampingan dan orientasi jangka pendek. Semangat saja tidak cukup. Pengrajin adalah seniman, tetapi mereka butuh bimbingan untuk memahami desain, ukuran, dan kemasan yang diinginkan pasar. Tanpa supervisi, produk kehilangan arah. Di sisi lain, pola pikir yang hanya mengejar keuntungan sesaat membuat kita abai membangun sistem yang berkelanjutan. Kita lupa, pasar global menuntut kontinuitas, bukan sekadar produk musiman.

Lebih dalam lagi, masalahnya menyentuh pola pikir dan budaya. Banyak pengrajin, seperti yang dijelaskan Ibu Yanti, belum sepenuhnya sadar bahwa keterampilan yang mereka anggap biasa—menganyam bakul untuk ke sawah atau pasar—memiliki nilai jual yang tinggi. Akibatnya, motivasi untuk berinovasi pun terbatas.

Yang paling mengkhawatirkan adalah ancaman keterputusan generasi. Keterampilan ini hidup di tangan para orang tua. Ibu Ensri Adoe berbagi cerita pilu tentang seorang oma penganyam yang wafat dan tak satu pun anak cucunya mewarisi keahliannya. “Tanpa regenerasi, keterampilan pun ikut hilang,” katanya. Warisan budaya itu terkubur bersama sang empu.

Puncaknya adalah ekosistem yang lemah. Pemerintah, komunitas, dan swasta sering berjalan sendiri-sendiri. Padahal, untuk melahirkan produk yang berkelanjutan, butuh orkestra yang harmonis—dari penyedia bahan baku, pelatih, desainer, hingga pemasar. Tanpa sinergi, semua upaya hanya akan menjadi proyek sesaat.

Produk lokal bukan hanya soal ekonomi. Setiap helai anyaman lontar adalah identitas, cerita, dan warisan leluhur kami. Membiarkannya punah sama dengan membiarkan sebagian dari diri kita hilang.

Diskusi di forum kami menyadarkan satu hal, tantangan ini bukan lagi milik generasi tua, melainkan panggilan bagi kami, kaum muda Rote. Tugas kita bukan hanya bertepuk tangan saat karya kita dipamerkan di luar negeri, tetapi memastikan api keterampilan itu tetap menyala terang di rumah sendiri, dari generasi ke generasi.

Penulis : Amaryanti Lengo, anggota KAMu Rote Ndao (Komunitas Anak Muda Untuk Rote Ndao)

Editor : Redaksi

Berita Terkait

Sabtu, 6 September 2025 - 12:41 WITA

Mengapa Produk Lokal Kita Seringkali ‘Mati Suri’? Sebuah Refleksi dari Anyaman Rote

Berita Terbaru