ROOLNEWS.ID • Ahli Hukum Pidana Dr. Mikhael Feka, S.H., M.H., menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Erasmus Frans Mandato (EFM) oleh pihak Kepolisian Resor (Polres) Rote Ndao telah sah secara hukum. Menurut ahli yang dihadirkan pihak Termohon ini, penetapan tersebut telah memenuhi syarat minimal dua alat bukti dan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Hal ini disampaikannya usai memberikan keterangan dalam sidang lanjutan praperadilan dengan agenda pemeriksaan ahli di Pengadilan Negeri Rote Ndao, Kamis (25/9/2025).
“Intinya hari ini saya menerangkan bahwa terkait dengan perkara praperadilan itu hanya memeriksa dari aspek formilnya saja dan tidak memasuki dalam arena pokok perkara,” ujar Mikhael Feka di Ba’a.
Ia menjelaskan, lingkup pemeriksaan praperadilan hanya sebatas menilai ada atau tidaknya dua alat bukti dalam penetapan tersangka yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Berdasarkan pembuktian yang diajukan Termohon, Mikhael menilai bahwa pihak penyidik telah mengantongi minimal dua alat bukti.
“Artinya bahwa penetapan tersangka oleh Termohon kepada Pemohon itu telah sah karena telah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2014, yaitu tentang penetapan tersangka minimal didukung oleh dua alat bukti yang sah sebagaimana tertera dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP,” terangnya.
Mikhael menegaskan, pemeriksaan praperadilan tidak memasuki materi atau pokok perkara, melainkan hanya berfokus pada aspek formal. Ia juga membedakan antara bukti di tahap penyidikan dan pembuktian di persidangan.
Menurutnya, bukti di tingkat penyidikan merupakan bukti permulaan, sedangkan pembuktian terkait kualitas dan unsur-unsur pasal akan diuji dalam sidang pokok perkara.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa KUHAP menganut model proses hukum yang berimbang, di mana hak asasi tersangka dan korban sama-sama dijunjung tinggi. Oleh karena itu, praperadilan tidak bisa masuk ke pokok perkara karena tidak akan seimbang, di mana korban tidak hadir untuk membela kepentingannya.
“Untuk menjaga keberimbangan antara hak korban dan juga hak tersangka, pelaku, maka betul-betul di dalam pemeriksaan praperadilan hanya membatasi diri pada aspek formil,” tambahnya.
Terkait proses penangkapan, Mikhael menyatakan bahwa penangkapan yang diatur paling lama 24 jam dalam KUHAP berarti bahwa sebelum batas waktu itu berakhir, status yang bersangkutan harus sudah ditentukan. Ia menyebut bahwa surat perintah penangkapan dan surat perintah penahanan dapat terbit pada hari yang sama, dan saat surat perintah penahanan terbit, maka surat perintah penangkapan dengan sendirinya berakhir.
Mengenai penerapan pasal yang disangkakan, Mikhael berpendapat bahwa hal tersebut merupakan kewenangan penyidik untuk menentukan dasar hukum yang paling relevan dengan peristiwa yang dilaporkan. Menurutnya, jika penyidik menilai perbuatan tersebut lebih mengarah pada berita bohong sesuai Pasal 28 Undang-Undang ITE, maka hal itu sudah tepat. Pengujian lebih lanjut mengenai pasal tersebut akan dilakukan dalam sidang pokok perkara.
“Bahwa apa yang dilakukan oleh Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai tersangka telah sesuai dengan prosedur hukum yang tepat,” tutupnya. (*/rn)