ROOLNEWS • Sejumlah pasal krusial dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, dinilai mengangkangi asas persamaan di hadapan hukum, sehingga mendapat tanggapan berbagai pihak, salah satunya praktisi hukum tata negara NTT Dr Yanto MP Ekon, SH, M.Hum.
Kepada media ini di Ba’a, Jumat (21/9/2018), Yanto Ekon mengatakan, belum lama ini ada imbauan yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memecat ASN mantan terpidana, yang kemudian disusul dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Mendagri, Men PAN-RB, dan Kepala BKN, yang intinya memberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, dan PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, sangat merugikan ASN dan mengangkangi Asas Persamaan di Hadapan Hukum.
Menurutnya, sesuai aturan pasal Pasal 87 ayat (4) huruf (d) UU ASN serta pasal 286 dan 287 PP Nomor 11/2017 tersebut, meski hukuman satu hari pun, tapi oleh pengadilan seseorang ASN dinyatakan bersalah dan memenuhi unsur pidana, dan telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka harus diberhentikan secara tidak dengan hormat ini perlu dikaji ulang.
Dikatakan Yanto, ada dua hal yang perlu dikaji lagi karena sifatnya sangat diskriminatif dengan kondisi yang sama pada penyelenggara negara/daerah yang lain.
Hal yang pertama, kata Yanto, jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 terkait syarat menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah, dalam hal ini gubernur/wakil gubernur, walikota/wakil walikota, dan bupati/wakil bupati, tidak melarang narapidana mencalonkan diri. Sehingga, di Indonesia masih ada kepala daerah yang notabene yang menjadi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) bekas terpidana, dapat memecat ASN mantan terpidana.
Kedua, kata Yanto, aturan ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu, di mana anggota DPR/DPRD mantan terpidana tidak dilarang mencalonkan diri, sementara mengapa ASN mantan narapidana tidak boleh. Padahal ASN dan anggota DPR/DPRD sama-sama penyelengara pemerintah.
“Ini sangat bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat,” katanya.
Judicial Review
Dikatakan Yanto, langkah hukum yang harus ditempuh oleh para ASN adalah mengajukan judicial review UU ASN ke MK, agar ada persamaan hukum.
Hal lain yang tidak memenuhi asas persamaan di hadapan hukum dan rasa keadilan, kata Yanto, adalah UU ASN ini diundangakan pada 5 Februari 2014, sehingga berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan dia tidak bisa berlaku surut. Dengan demikian ASN yang pernah menjadi terpidana tahun di bawah UU ASN dikeluarkan, tidak bisa diberhentikan karena aturan tidak bisa berlaku surut.
“Orang yang telah menjalani hukuman tidak bisa dihukum lagi atas perbuatan yang sama. Kalau ASN dibedakan dengan kepala daerah dan para politisi, maka seolah-olah ASN dihukum dua kali, sementara kepala daerah dan para politisi tidak,” imbuhnya.
Ketika ditanya terkait adanya imbauan KPK untuk memecat ASN mantan terpidana, Yanto katakan, perlu dipertegas bahwa KPK tidak ada kewenangan untuk itu karena KPK hanya punya hak penyidikan dan penuntutan.
“Jadi KPK tidak punya kewenangan untuk itu. Seyogyanya itu adalah tugas dari lembaga pengadilan,” katanya.
Yanto Menambahkan, jika UU ASN diberlakukan sesuai imbauan KPK dengan sanksi pemecatan, maka ASN tidak akan ada yang berminat menjadi Panitia Pengadan Barang dan Jasa karena itu bukan merupakan tugas pokok ASN, tetapi hanyalah sebagai tugas tambahan saja. (*tim)