ROOLNEWS.ID -Sebuah angka kecil, 16, menjadi episentrum harapan baru dari Pulau Rote. Enam belas ekor Kura-Kura Rote (Chelodina mccordi), spesies yang sempat divonis “hilang di alam” kini kembali pulang ke danau-danau tanah leluhurnya. Namun, euforia kembalinya satwa endemik ini menutupi sebuah kebenaran yang jauh lebih fundamental, yang terungkap dalam diskusi publik Rote Bergerak, menghadirkan Melkianus Daulima dan Risiqnanti sebagai narasumber dari Wildlife Conservation Society (WCS) dengan Aryz Lauwing Bara sebagai moderator, pada Jumat, 3 Oktober 2025 lalu; kebenaran bahwa masa depan kura-kura ini tidak lagi ditentukan oleh para konservasionis di menara gading, melainkan oleh para petani dan nelayan yang hidup di tepian danau.
Menurut hemat saya, gerakan konservasi di Rote bukan lagi sekadar upaya penyelamatan spesies. Ia telah berevolusi menjadi sebuah model pembangunan sosio-ekonomi yang radikal, di mana kelestarian satwa dan kesejahteraan manusia adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Argumen utamanya sederhana namun kuat, menyelamatkan kura-kura Rote adalah mustahil tanpa terlebih dahulu menyejahterakan masyarakat pemilik habitatnya.
Mari kita bedah logikanya. Pernyataan Melkianus Daulima dari WCS bahwa, “Konservasi tidak mungkin berhasil tanpa masyarakat. Mereka pemilik danau, mereka juga yang paling tahu cara menjaga,” bukanlah sekadar basa-basi pemberdayaan. Ini adalah pengakuan strategis atas kegagalan model konservasi top-down di masa lalu. Data menunjukkan bahwa Danau Peto masih menunggu kesiapan penuh masyarakat untuk pelepasliaran. Fakta ini adalah bukti paling telanjang bahwa masyarakat bukan lagi objek, melainkan subjek penentu keberhasilan. Tanpa restu dan partisipasi aktif mereka, program secanggih apa pun akan mandek.
Pendekatan ini menerjemahkan filosofi menjadi aksi konkret yang menyentuh nadi kehidupan warga. Alih-alih membawa larangan yang membatasi, WCS dan para mitra justru memperkuat apa yang sudah ada. Risiqnanti dari WCS menegaskan, “Kami tidak membawa sesuatu yang asing, hanya memperkuat yang sudah ada di masyarakat.” Data menyebutkan secara spesifik pilar-pilar ekonomi baru yang dibangun; hortikultura organik, peternakan terpadu, kerajinan tangan, hingga ekowisata. Ini adalah pergeseran paradigma. Ancaman seperti tekanan pemanfaatan air untuk irigasi tidak lagi dilihat sebagai masalah yang harus dimusuhi, melainkan tantangan yang harus diintegrasikan ke dalam solusi ekonomi baru yang berkelanjutan. Masyarakat diberi insentif ekonomi untuk menjaga danau, bukan hukuman jika memanfaatkannya.
Banyak yang mungkin meremehkan skala gerakan ini. Diskusi daring yang menjadi sumber data ini hanya dihadiri oleh 13 peserta. Namun, di sinilah letak kecerdikannya. Inisiator gerakan, KAMu Rote Ndao, menerapkan prinsip low hanging fruit, meraih manfaat maksimal dari aksi paling sederhana. Sebuah diskusi via Zoom dengan 13 peserta yang antusias jauh lebih bermakna daripada sebuah seminar besar tanpa tindak lanjut. Ini adalah model gerakan organik yang tumbuh dari bawah, di mana setiap individu menjadi agen penyebar informasi, seperti yang ditegaskan di akhir diskusi, para orang tua dan anak muda harus meneruskan cerita tentang “harta” Rote ini kepada keluarga mereka.
Bahkan dukungan pemerintah, seperti komitmen Bupati Rote Ndao untuk membuka akses jalan pada tahun 2026, harus dibaca sebagai respons atas dinamika yang sudah mengakar di masyarakat, bukan sebaliknya. Pemerintah mengikuti irama gerakan rakyat, bukan mendiktekannya.
Pada akhirnya, kita harus berhenti melihat 16 ekor kura-kura yang dilepasliarkan itu sebagai tujuan akhir. Angka itu hanyalah awal. Keberhasilan sesungguhnya dari gerakan Rote Bergerak adalah saat seorang petani di tepi Danau Ledulu melihat kura-kura berleher ular itu bukan sebagai hama atau komoditas perburuan, melainkan sebagai aset yang menjamin kelangsungan kebun organiknya dan masa depan ekowisata desanya.
Sebagaimana diungkapkan Melky, “Jika kita mau kura-kura leher ular ini lestari maka kesejahteraan masyarakat di sekitar danau penangkaran pun perlu kita perhatikan.” Pesan ini jelas, cangkang terkuat untuk melindungi Kura-Kura Rote bukanlah tempurung biologisnya, melainkan benteng kesejahteraan ekonomi dan budaya yang dibangun oleh masyarakat Rote sendiri. Di sanalah letak nyawa dan masa depan mereka yang sesungguhnya.
Penulis :Aplonia Adriana Mozes (Member KAMu Rote Ndao)
Editor :Redaksi